Oleh: RN
Bayu Aji
Perkembangan
kota tidak bisa terlepas dari letak geografisnya terutama terletak di pinggir
pantai. Dahulu, transportasi yang memungkinkan untuk melakukan perhubungan,
baik hubungan perdagangan dan lintas budaya adalah melalui laut. Meskpiun telah
ada jalur darat, namun transportasi melalui laut dan kemudian bersandar di
pantai merupakan konsekuensi logis yang harus dijalani.
Indonesia
(Nusantara) memiliki letak geografis yang strategis sebagai jalur perdagangan
dan juga lintas budaya yang menghubungkan antara benua Asia dan Australia.
Selain itu, wilayah perairan Indonesia lebih besar daripada wilayah daratan.
Keadaan dan letak geografis ini menjadikan sebagian besar perkembangan sejarah
kota di Indonesia berkembang di wilayah pantai.
Oleh
sebab itu, muncul aktivitas ekonomi, budaya, politik dan sosial melalui jalur
laut. Salah satu daerah yang terkenal dengan kota pantainya adalah Sulawesi.
Hal inilah yang hendak diungkap oleh La Ode Rabbani dalam bukunya yang berjudul
Kota-Kota Pantai Di Sulawesi Tenggara.
Dalam
bukunya ini, La Ode Rabbani memberikan gambaran bagaimana kota Buton, Kendari
dan Muna yang berada di Sulawesi Tenggara memiliki sejarah panjang sebagai kota
pantai. Perkembangan tiga kota tersebut memiliki peran penting dalam hal
pelayaran, perdagangan maupun hubungan dagang dan politik.
Wilayah
Sulawesi Tenggara termasuk dalam jaringan perdagangan internasional. Hal ini
mengharuskan tiga kota tersebut berkembang melalui perdagangan yang cenderung
bergerak ke arah pantai.
J.P.
Coen pada tahun 1614 melaporkan bahwa kota Buton telah mimiliki hasil ekonomi
terutama kayu yang banyak diminati oleh para pedagang serta pembuat perahu
sehingga laku di pasar internasional. Hubungan awal ekonomi itu kemudian
berubah menjai hubungan politik. Hal ini menurut La Ode Rabbani disebabkan
adanya pejanjian persabatan antara Buton dengan Pemerintah Hindia Belanda pada
abad ke-17. tarik menarik kepentingan akhirnya terjadi saat itu.
Selanjutnya,
kunjungan pertama J.N. Voemaer di kendari tahun 1831 melaporkan bahwa Kendari
adalah tempat untuk menimbun barang-barang dagang. Penimbunan itu dilakukan
oleh orang-orang Bajo dan Bugis yang kemudian dikirim ke Makassar.
Fungsi
itu menempatkan teluk Kendari sebagai pusat pelabuhan dan perdagangan sekaligus
sebagai port collecting untuk salah satu komoditas dagang. Kemudian pelabuhan
Kendari juga berfungsi sebagai pelabuhan ekspor-impor. Pemerintah kolonial
Hindia-Belanda akhirnya berkepentingan untuk menarik pajak dari kapal-kapal
yang bersandar di pelabuhan teluk Kendari. (hlm. 38-41)
Kota
yang ketiga yakni Muna. Dalam Memorie van Overgave dan tulisan Couveur, Muna
merupakan pendukung perluasan aktivitas ekonomi Pemerintah Hindia Belanda dan
perusahaan kayu. Hasil utama kota Muna berasal dari hasil hutan terutama kayu
jati.
Sedangkan
untuk perkebunan adalah kapuk dan tembakau. Sementara itu hasil perikanan kota
Muna juga tidak kalah penting sebagai komoditi ekspor. Terbentuknya kota Muna
tidak terlepas dari Buton dan Kendari. Letak kota Muna yang juga berada di
pinggir pantai mengharuskan kota ini memiliki pelabuhan.
Selain
menjelaskan mengenai perdagangan, buku yang berasal dari tesis ini menerangkan
bagaimana proses dinamika sosial masyarakat di Sulawesi Tenggara, khususnya di
tiga kota tersebut. Sebelum era kolonial Hindia-Belanda, masyarkat Pribumi
telah mempunyai hubungan dengan orang-orang Cina, Eropa, dan Arab. Terbentuknya
pemukiman permanen orang-orang Cina setelah Belanda masuk menyebabkan pemukiman
tersebut tidak jauh dari sekitar pemukiman Belanda dan Pasar.
Lebih
lanjut, La Ode Rabbani menyimpulkan bahwa perkembangan kota-kota pantai di
Sulawesi Tenggara dapat dibagi dalam lima fase. Pertama, adalah fase antara
abad ke 14 sampai 17 di mana kontrol kerajaan Buton begitu kuat. Kedua, fase
pasca penandatanganan perjanjian Bungaya 1667 sampai 1824. periode ini
menunjukan dominasi perkambangan politik sehingga terjadi konflik antarkerajaan
di Sulawesi.
Ketiga,
fase 1824 sampai 1906 yang diwarnai dengan perkembangan politik dengan sasaran
kepentingan ekonomi yang dominan. Keempat, berlangsung dari 1806 sampai 1920-an
dengan ditandai meningkatnya berbagai hasil perkebunan, pertanian sehingga
Sulawesi Tenggara ikut dalam pengembagan ekspor-impor. Kelima, berlangsung dari
1920-an sampai 1942. Fase ini ditandai oleh perkembangan dan pembangunan
infrastruktur dan eksplorasi sumber-sumber ekonomi Sulawesi Tenggara oleh
pemerintah Hindia Belanda. (hlm 107-113)
Meskipun
buku ini merupakan hasil dari sebuah tesis S-2 di Jurusan Ilmu Sejarah, namun
tidak mengurangi nilai pembahasan dan menariknya kajian kota-kota pantai di
Indonesia terutama di Sulawesi Tenggara. Buku ini, bisa dijadikan sebagai dasar
untuk mengubah pola pikir kita semua bahwa jangan sampai mabuk lautan apalagi
lupa lautan karena laut merupakan penunjang kemajuan daerah dan juga bangsa.
R.N.
Bayu Aji Alumnus Departemen Ilmu Sejarah Unair Peneliti HISTra (History
Institute for Society Transformation)
Judul
Buku : Kota-Kota Pantai Di Sulawesi Tenggara, Penulis : La Ode
Rabani Penerbit : Ombak Yogyakarta, Cetakan : Pertama, 2010 Tebal
: xxvii + 177 Halaman; 14,5 x 21 cm
1.
rahman hamid
pada
: 20 November 2011
"sebuah
karya I menginspirasi ilmuan di Sulawesi Tenggara"
0 komentar:
Posting Komentar